Perbedaan Pendapat dalam Fikih

Perbedaan Pendapat dalam Fikih: Belajar Toleransi dari Ulama Klasik

Pembuka

Dalam sejarah panjang Islam, perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang menakutkan. Justru, ia menjadi bukti betapa dinamis dan hidupnya tradisi keilmuan umat. Ulama klasik seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, hingga Imam Ahmad memiliki pandangan berbeda dalam banyak hal—namun tetap saling menghormati. Dari mereka, kita belajar bahwa fikih berkembang bukan dari keseragaman, melainkan dari keluasan wawasan dan kedewasaan dalam bersikap.

1. Akar Perbedaan: Dari Dalil hingga Kondisi Sosial

Ulama klasik berbeda pendapat bukan karena ego atau ingin menang sendiri. Ada beberapa sebab ilmiah:

  • Perbedaan memahami dalil (tafsir ayat atau tingkat kesahihan hadis).

  • Perbedaan konteks sosial dan budaya tempat mereka hidup.

  • Perbedaan cara menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, istihsan, atau maslahah.

  • Perbedaan akses terhadap riwayat hadis pada zaman dahulu.

Dengan memahami faktor-faktor ini, kita sadar bahwa perbedaan pendapat adalah konsekuensi logis dari keluasan khazanah Islam.

2. Ulama Klasik Mengajarkan Adab Berbeda Pendapat

Salah satu pelajaran paling berharga dari ulama klasik adalah adab. Mereka sering berbeda tajam dalam fikih, namun tetap memuliakan satu sama lain.

  • Imam Syafi’i berkata, “Pendapatku benar namun mungkin salah. Pendapat orang lain salah namun mungkin benar.”

  • Imam Malik tidak memaksa pendapatnya diikuti seluruh dunia, meski diminta oleh khalifah.

  • Para ulama duduk bersama, berdiskusi, bahkan saling memuji meski fatwanya berbeda.

Inilah teladan toleransi yang sangat relevan untuk umat Islam masa kini.

3. Fikih yang Fleksibel: Ruang Ijtihad yang Terbuka

Ulama klasik memahami bahwa teks-teks syariat bersifat tetap, namun realitas manusia berubah. Karena itu, mereka membuka ruang ijtihad agar hukum Islam bisa diterapkan sesuai zaman.

Perbedaan hasil ijtihad ini justru menjadi kekayaan yang memudahkan umat. Misalnya:

  • Perbedaan jumlah rakaat tarawih.

  • Perbedaan pendapat soal qunut Subuh.

  • Perbedaan cara wudu dan gerakan shalat tertentu.

Baca  Peran Fiqih Islam dalam Kehidupan Sehari-Hari

Semua ini menunjukkan bahwa syariat memberi ruang keluwesan, bukan kekakuan.

4. Belajar Toleransi untuk Umat Islam Modern

Di era media sosial, perbedaan pendapat kadang berubah menjadi perdebatan keras yang memicu perpecahan. Padahal, ulama klasik justru menjadikan perbedaan sebagai ladang memperluas ilmu.

Beberapa nilai yang perlu diteladani:

  • Tidak mudah menghakimi amalan orang lain selama masih dalam ranah khilafiyah.

  • Lebih fokus pada adab dibanding menang argumen.

  • Memastikan pendapat yang diikuti bersumber dari ulama terpercaya.

  • Menghindari sikap fanatik buta terhadap suatu mazhab.

Dengan memegang nilai toleransi ini, perbedaan bukan lagi sumber konflik, tetapi sarana memperkaya pemahaman agama.

5. Menyatukan Umat lewat Sikap Bijak dalam Khilafiyah

Islam mengajarkan persatuan. Perbedaan fikih tidak boleh menjadi alasan untuk merenggangkan hubungan. Solusi terbaik adalah:

  • Mengedepankan musyawarah dan dialog ilmiah.

  • Mengutamakan persamaan, bukan perbedaan.

  • Berpegang pada prinsip: “Yang berbeda kita toleransi, yang prinsip kita jaga bersama.”

Dengan sikap ini, umat Islam dapat hidup damai meski memiliki keragaman praktik ibadah.

Penutup

Perbedaan pendapat dalam fikih adalah warisan intelektual yang sangat berharga. Dari ulama klasik, kita belajar bahwa berdebat boleh, tetapi menjaga adab adalah kewajiban. Jika umat Islam masa kini mampu meniru kebijaksanaan mereka, maka perbedaan tidak akan menjadi sumber konflik, melainkan pintu menuju kedewasaan spiritual dan pemahaman agama yang lebih matang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *