Pembuka
Dalam perkembangan sejarah Islam, selalu ada praktik-praktik baru yang muncul dan dianggap sebagai bagian dari ajaran agama. Padahal, sebagian hal tersebut tidak pernah dilakukan secara langsung oleh Rasulullah ﷺ. Fenomena ini tidak selalu buruk—selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Namun, penting bagi umat Islam modern memahami mana yang merupakan ajaran pokok (tauqifiyah) dan mana yang merupakan kebiasaan (ijtihadiyah), agar tidak terjadi klaim sepihak bahwa suatu amalan wajib atau pasti sunnah, padahal belum tentu demikian.
Artikel ini tidak bertujuan menyalahkan, tetapi mengajak kita memahami perbedaan antara agama dan budaya, serta menumbuhkan sikap bijak dalam menyikapi amalan baru.
1. Memahami Konsep Bid’ah dan Pembaruan yang Dibenarkan
Dalam literatur fikih, para ulama membedakan antara:
-
Bid’ah tercela, yaitu melakukan ritual baru yang bertentangan dengan syariat.
-
Bid’ah hasanah, yaitu hal baru yang membawa kebaikan dan tidak menyalahi prinsip agama.
-
Urusan dunia (adat) yang boleh berubah sesuai kebutuhan zaman.
Dengan pemahaman ini, tidak semua hal yang tidak dilakukan Rasul otomatis salah. Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Contoh Praktik yang Disebut “Islam” tapi Tidak Pernah Dicontohkan Rasul
Berikut beberapa fenomena kontemporer yang sering dianggap wajib, padahal tidak memiliki ketetapan khusus dari Rasulullah ﷺ. Contoh ini disampaikan dalam konteks edukatif, bukan menghakimi.
a. Menganggap Bentuk Pakaian Tertentu sebagai “Satu-satunya yang Islami”
Rasulullah tidak menentukan model pakaian tertentu; yang diwajibkan adalah:
-
Menutup aurat
-
Tidak meniru pakaian kesombongan
-
Pakaian yang layak dan sopan
Namun, di era modern, kadang model pakaian tertentu dianggap lebih islami, padahal syariat berbicara tentang batasan, bukan bentuk.
b. Adzan dengan Melagukan Gaya Tertentu
Melagukan adzan adalah budaya yang berkembang di wilayah tertentu. Rasulullah tidak mewajibkan irama tertentu. Semua gaya adzan sah selama memenuhi lafaz dan adabnya.
c. Ritual Kolektif yang Dianggap Wajib
Beberapa kegiatan sosial-keagamaan muncul setelah masa sahabat, misalnya:
-
Tahlilan dengan format tertentu
-
Peringatan hari-hari tertentu
-
Majelis zikir dengan pola tetap
Selama tidak diyakini sebagai kewajiban agama dan tidak mengandung unsur syirik, para ulama banyak yang membolehkannya sebagai bentuk budaya positif. Bila dianggap wajib mutlak, barulah menyalahi prinsip.
d. Mengaitkan Semua Adab Modern dengan “Perintah Nabi”
Misalnya:
-
Cara makan di meja
-
Cara duduk tertentu
-
Gaya komunikasi tertentu
Ini sebenarnya termasuk budaya dan tidak semuanya harus diberi label “sunnah”.
3. Mengapa Fenomena Ini Muncul?
Ada beberapa faktor:
-
Kecintaan umat kepada agama, sehingga ingin semua hal dihubungkan dengan sunnah.
-
Kurangnya pemahaman sejarah, sehingga budaya daerah dianggap ajaran asli Islam.
-
Pengaruh tokoh tertentu, yang kadang mempopulerkan praktik khusus sebagai standar umum.
-
Lingkungan sosial, di mana suatu kebiasaan diwariskan turun-temurun.
Fenomena ini menunjukkan bahwa agama dan budaya sering berinteraksi erat dalam kehidupan umat.
4. Sikap Bijak: Tidak Mengharamkan, Tidak Mewajibkan
Pelajaran terpenting adalah menjaga keseimbangan:
-
Jangan mengharamkan amalan yang secara syariat tidak dilarang.
-
Jangan mewajibkan amalan yang tidak diperintahkan Rasul.
-
Jangan mengklaim satu amalan sebagai “paling benar” tanpa landasan kuat.
-
Hormati tradisi yang baik, selama tidak bertentangan dengan syariat.
Ulama mengajarkan bahwa toleransi dalam perbedaan amalan adalah bagian dari adab beragama.
5. Fokus pada Inti Ajaran Rasulullah
Rasulullah ﷺ datang membawa pesan yang jelas:
-
Tauhid
-
Akhlak
-
Keadilan
-
Ketaatan kepada Allah
-
Kasih sayang sesama manusia
Selama amalan baru mendukung nilai-nilai ini, ia dapat diterima sebagai bagian dari dinamika budaya Muslim. Namun jika membawa permusuhan, kesombongan, atau klaim kebenaran sepihak, maka ia menjauhkan dari ruh sunnah itu sendiri.
Penutup
Hal-hal yang tidak pernah dilakukan Rasul tetapi dianggap perintah Islam belakangan ini seharusnya disikapi dengan ilmiah, bukan emosional. Islam mengajarkan keseimbangan: menghormati tradisi sekaligus berpegang pada prinsip. Dengan memahami akar perbedaan dan tidak mudah memvonis, umat Islam dapat menjaga persatuan, kedewasaan beragama, dan semangat mengikuti sunnah yang benar.






