Pendahuluan
Puasa adalah ibadah yang telah disyariatkan Allah ﷻ kepada umat Islam sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Namun dalam praktik keseharian masyarakat, muncul berbagai bentuk puasa tambahan seperti puasa mutih—yakni menahan diri dari makan dan minum kecuali nasi putih dan air. Pertanyaannya, apakah puasa mutih memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan hadis?
Puasa dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an secara tegas memerintahkan puasa Ramadhan sebagai kewajiban utama:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Namun Al-Qur’an tidak menyebutkan secara khusus tentang puasa mutih. Artinya, puasa ini bukanlah syariat baku, melainkan bagian dari kebiasaan atau tradisi tertentu.
Puasa dalam Hadis Nabi ﷺ
Hadis Nabi ﷺ menjelaskan berbagai macam puasa sunnah, seperti:
-
Puasa Senin-Kamis
-
Puasa Ayyamul Bidh (tanggal 13, 14, 15 bulan Hijriyah)
-
Puasa Arafah dan Asyura
-
Puasa Dawud (sehari puasa, sehari tidak)
Namun tidak ada satu pun hadis shahih yang menyebutkan puasa mutih sebagai anjuran Rasulullah ﷺ.
Pandangan Ulama
Mayoritas ulama menyatakan puasa mutih bukan bagian dari syariat Islam. Jika dilakukan sebagai latihan menahan hawa nafsu tanpa meyakini sebagai ibadah khusus yang disyariatkan, maka hal itu termasuk amalan mubah. Tetapi jika diyakini sebagai ibadah khusus dengan keutamaan tertentu, maka bisa terjatuh pada bid’ah.
Penutup
Al-Qur’an dan hadis hanya menjelaskan puasa Ramadhan dan puasa sunnah tertentu. Puasa mutih tidak memiliki dasar nash yang jelas, sehingga seorang muslim sebaiknya mengutamakan puasa yang memang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ agar lebih sesuai tuntunan syariat.






